JaWAra Internet Sehat Sulawesi Barat, Shalahuddin (kanan) pada talkshow di TVRI Sulawesi Barat yang digelar Selasa (10/8) lalu. Pada acara ini turut dihadiri Ketua Relawan TIK Mamuju, Abdul Wahab (tengah).

Tren berita bohong (hoaks) di Indonesia bisa diamati pada sejumlah momentum penting yang bergulir di nagara ini. Misalnya jelang hari kemerdekaan atau hari-hari besar keagamaan. Hal itu diungkapkan JaWAra Internet Sehat Sulawesi Barat, Shalahuddin saat diundang pada sesi talk show di TVRI Sulawesi Barat, Selasa (10/8) sore.

Pada momentum tersebut kata Dia, bisa diamati dan tak cukup sampai disitu. Kondisi tersebut akan diiringi dengan munculnya perubahan prilaku di media sosial dengan hadirnya kluster identitas pribumi dan non pribumi. Demikian dengan isu lain misalnya yang terkait dengan isu keagamaan, akan muncul kelompok yang mengaku sebagai kumpulan umat beragama paling taat menjalankan perintah Tuhan.

“Hal itu beredar di media sosial dan cenderung membentuk netizen pada polarisasi dan ini menjadi pintu masuk disintegrasi bangsa,” katanya.

JaWAra Internet Sehat Sulawesi Barat, Shalahuddin pada talkshow di TVRI Sulawesi Barat yang digelar Selasa (10/8) lalu.

Namun kata Dia, rangkaian polarisasi itu tidak bergerak serta merta dan berawal dari hoaks semata. Sebab ada rangkaian awal yang bekerja secara masif sebelum hoaks itu menjadi konten informasi yang akhirnya diterima.

“Awalnya itu, terbawa dengan isu-isu yang memiliki kesamaan ideologi, kesamaan emosi atau psikis. Akhirnya yakin bahwa hal itu benar dan parahnya membentuk pribadi yang akhirnya sentimen terhadap informasi pembanding yang sekiranya berbeda perspektif dengan cara pandangnya. Nah pada ruang ini meski informasinya sudah mengandung hoaks, karena sudah terlanjur diyakini dan memiliki persamaan-persamaan perspektif yang jadi rujukan sebelumnya, maka akan membuat tetap kukuh dan percaya,” ujar lulusan Komunikasi & Penyiaran Islam UIN Makassar ini.

JaWAra Internet Sehat Sulawesi Barat, Shalahuddin pada talkshow di TVRI Sulawesi Barat yang digelar Selasa (10/8) lalu.

Ditengah fenomena itu, diamini dengan efek filter buble. Dimana sistem algoritma media sosial yang kita gunakan bekerja sebagai penyaring informasi yang menjadi kecenderungan dan sering diakses.

“Nah kondisi ini pada ruang perspektif kita akan terbawa pada satu perspektif dan bisa mengantar kita dalam pusaran fenomena sosial baru yang disebut echo chamber. Namun dilain sisi kondisi ini sangat menguntungkan secara ekonomi bagi pelaku periklanan. Karena meningkatkan grafik jangkauan mereka. Sederhananya kita akan terbawa arus pemikiran minim perspektif dan makin mendongkrak pendapatan finansial pengiklan,” katanya.

Olehnya kata Dia, untuk menghindari jebakan sistem algoritma media sosial tersebut, dibutuhkan keterampilan yang baik dan bijak dalam menggunakan media sosial. “Misalnya ketika dengan mengonsumsi satu informasi diiringi dengan mengakses informasi yang memiliki perspektif yang lain sebab ini membantu kita untuk melihat informasi atau referensi yang beragam,” pungkasnya. (LSDH)