Nurliya | jaWAra InternetSehat Nusa Tenggara Barat | “With Great Power Comes Great Responsibility”
Program literasi digital dengan tema ini didasari oleh keprihatinan akan etika berbudaya di ruang digital oleh warganet terutama di NTB. Komentar yang tidak pantas, bahasa yang jorok, menyakitkan hati, penuh kebencian, tidak adanya empati banyak ditemui di berbagai postingan Social Networking Sites.
Beberapa pemuda yang mencoba menjadi konten kreator dan menjadikan konten sosial media sebagai ladang usaha, masih banyak yang kurang mampu mengolah bahasa komunikasi dengan pantas. Oleh karena itu, program kali ini akan mengajak para pemuda di NTB untuk siap aksi, cakap digital, beretika digital dan membuat sebuah konten-konten positif yang beretika dan berbudaya sekaligus edukasi bagi masyarakat luas.
Konsep yang diusung adalah sosialisasi dan ajakan untuk membuat konten positif secara bersama-sama melalui Instagram Reels dan Tiktok, yang mana dua platform ini membuktikan interest yang besar berdasarkan habit warganet yang terpetakan dalam alogaritma mereka, bahwa “short from content this is what is trending, no longer consumers want to watch 1+ minute long videos, they want information and entertainment in 10 seconds or less”.
Berdasarkan hasil intervew dan penelusuran, para pemuda ataupun influencer yang menjadi target workshop ini masih labil mental dan manner-nya. Selain itu mereka juga sering mengalami kondisi insecure yang berlebihan karena sering mengalami cyberbully dan hatespeech. Kelabilan mereka, menjadikan mereka mudah sekali termakan Hoax. Kekurang hati-hatian mereka dalam menjaga informasi sering pula menjadikan akun Instagram mereka mudah sekali di hack oleh haters.
Selain itu manner yang kurang matang, menjadikan mereka mudah juga mengutarakan hal negatif, kemarahan, dan persaingan di media sosial mereka masing-masing, untuk itulah jawara NTB menghadirkan narasumber Ibu Ain Hussin dari Malaysia yang merupakan PhD in Child Psychology ini menjadi pilihan yang dirasa tepat.
Selain workshop tentang keamanan digital dan etika digital, peserta juga diajak brainstroming tentang penguatan personal karakter agar lebih percaya diri dan menerima diri sendiri apa adanya. Karena peserta masih berusia 13-23 tahun maka mereka juga tidak segan untuk mengeluarkan uneg-uneg nya saat dibenci oleh netizen, di hack akunnya, di bully kondisi fisiknya, di terror di rumahnya bahkan keluarganya, dihakimi atas semua postingannya.
Bahkan mereka merasa harus selalu tampil cantik dan sempurna dengan make up kemanapun berada, karena takut diejek oleh orang lain, serta tidak sedikit dari mereka yang harus menutup akunnya karena tidak kuat dengan cyber bully dan hate speech terhadap mereka, apalagi setelah mereka memiliki pasangan.
Made Angga, dengan nama akun Instagram made.angga_2 dan jumlah followers 45,2K pernah mendapatkan cyberbully dan terror yang luar biasa setelah dia jadian dengan seseorang, beberapa fansnya tidak suka, sehingga terpaksa harus menutup akunnya dan menghilang dari media sosial. Setelah mendapat bujukan dari sang Manajemen, maka kemudian dia berani bangkit dan muncul kembali dengan nama akun yang baru.
Salah satu influencer wanita yang menjadi peserta juga bercerita bahwa akunnya terhack karena pasword yang lemah serta lupa alamat emailnya sendiri, padahal akunnya telah memiliki followers lebih dari 50K, akhirnya dia harus mulai lagi dari awal.
Seperti karakternya, biasanya pemuda akan merasa bosan jika diberikan seminar ataupun workshop, mereka biasanya akan sibuk dengan handphone nya sendiri. Namun tidak kali ini, karena semua peserta tampak menyimak materi dan aktif berdiskusi dari awal hingga akhir acara, bahkan dampak yang terlihat adalah, mereka menginginkan workshop seperti ini yang berkelanjutan.
Hal unik lainnya, kegiatan ini, selain workshop dan ngonten bareng, juga menjadi ajang terapi psikologis bagi beberapa peserta, sehingga tidak sedikit yang curhat kepada Ibu Ain Hussin tumpah perasaannya dan menangis. Hal ini menguatkan, bahwa target peserta literasi digital terhadap muda dirasa telah tepat sasaran. Karena mereka memang benar-benar membutuhkannya.
Salah satu peserta bercerita sering sekali mendapat komentar negatif di postingannya, seperti “kok pede sih, padahal gendut”, “anak pulau sih makanya hitam banget mukanya” dan lain-lain.
Materi Literasi Digital yang disampaikan walapun dapat dipahami secara verbal, namun mereka masih kesusahan dalam menuangkan dan mengshare kembali ilmu yang didapat dalam sebuah video konten. Sehingga untuk mempermudah penyampaian informasi dengan waktu yang singkat 30 second-1 minute di video masih membutuhkan dampingan. Hal inilah yang menjadikan hasil konten positif yang ingin mereka hasilkan masih kurang maksimal hasilnya. Untuk pendampingan 50 peserta untuk membuat konten dalam waktu singkat tidaklah mudah, sehingga kami meminta untuk menjadikan pembuatan konten ini sebagai homework. Dari kekurangan ini, kami mendapatkan insight untuk menjadikan workshop khusus untuk pendampingan pembuatan konten positif literasi digital di di lain kesempatan.